Cerpen (Nyanyian Hati)


Nyanyian Hati
Sebuah nada khas berdering dari Hpku, nada khusus yang menandakan panggilan dari suamiku, aneh pikirku tak biasanya Abi meneleponku jam-jam segini, ternyata dia menelepon untuk mengajakku keluar, meski tidak jelas kemana tujuannya aku mengiyakan saja.
Suamiku datang tepat setelah kuakhiri sholat maghribku, kulihat wajahnya tampak berseri-seri penuh semangat sampai-sampai dia seperti hendak berlari ketika menghampiriku.
Ada apa sih Bi, tumben.. dandanan kamu rapi, hemmm…. harum banget”.
“He he he…”
“Jangan bilang kalo kamu mau menemui pacar kamu yah?”, tanyaku dengan pura-pura cemburu.
“Emang iya, aku khan mau menemui pacar terhebatku”.
“Oh ya, emang kamu sudah menemukan calon istri mudamu?, tanyaku menyelidik
“Hemm…., ada aja, he he he…., sudah siap belom kamunya Mi?,”
“Siap ?, siap apaan?, melamarkan wanita untuk jadi saudariku?”.
Kuperhatikan lagi dengan seksama wajah suamiku, tapi tak kudapatkan jawaban yang kuharap-harapkan, suamiku hanya mengangkat bahunya sedikit, sambil mengedipkan kedua matanya dengan lucu.
“Okey, siapa takut, kita berangkat sekarang?”, tanyaku dengan antusias meski hati kecilku sedikit ada rasa katakutan campur was-was.

Sepanjang perjalanan, perasaanku mendadak cemas, duh.. apa benar aku akan dipertemukan sama calon istrinya Abi, sambil berusaha menata hati kuperhatikan Abi bersenandung kecil sepanjang perjalanan, hmmm…. Abi kelihatan bahagia sekali, mungkin ini memang sudah waktunya.
Masih teringat jelas olehku, percakapan kami 1 tahun yang lalu tentang tawaranku ke Abi untuk berpoligami dan sejak saat itu aku punya aktivitas baru yakni meyakinkan Abi untuk menyegerakan poligami dan juga hunting calon bidadari kedua untuk Abi. Mungkin terlihat konyol atau bahkan gila ada istri yang menyuruh suaminya poligami, tapi bagiku poligami bukanlah hal yang salah, bahkan aku akan sangat menantikan saat-saat itu, saat dimana imanku akan diuji dengan kesabaran dan rasa cemburu yang sangat luar biasa.

“Mi, sudah nyampek nih.. ayo turun !”, kata suamiku mengagetkanku.
“Oh, ya ya.. sudah nyampek ya?”.
Setelah bersusah payah menata gejolak hati, keperhatikan sekitarku, tatapan mataku terhenti pada sebuah plang nama “Warung Apung”, hemmm… warung apung, sebuah tempat makan untuk keluarga yang merupakan tempat pertama kalinya aku bertemu suamiku, hampir 7 tahun silam. Pertemuan yang sengaja di rancang sahabatku untuk mempertemukan kami berdua. Apakah ini juga akan menjadi tempat pertemuan pertamaku dengan si calonnya Abi ?? Mendadak kakiku terasa lemas, serasa sulit sekali hendak melangkah dan kurasakan air mataku sudah mulai menggenang..
“Ayo Mi, kok malah diem?”. Kata suamiku sambil menggadeng mesra tanganku.
Hemmm…., kenapa aku mesti takut, bukankah ini yang aku nanti-nantikan, toh selama ini aku sudah mempersiapkan segala sesuatunya, kalo memang sekaranglah saatnya, aku akan memulainya dengan senyum dan sepenuh hatiku.

Bismillaih…… doaku dalam hati.
Kami berdua menuju tempat, yang sepertinya sudah di pesan suamiku, tapi kok gak ada siapa-siapa, mana calonnya Abi ?? atau mungkin belom datang ya?, pikirku.
Hampir 10 menit kami menunggu pesanan datang tapi tak terlihat olehku calon saudariku, tapi aku juga tidak berani untuk sekedar bertanya pada suamiku.
“Mi, kuperhatikan dari tadi kamu kok diem aja?, gak suka ya aku ajak makan di luar?”.
Entahlah aku seperti tidak memiliki koleksi kata-kata untuk sekedar menjawab pertanyaan suamiku, otakku buntu sibuk memikirkan si calon saudariku, jadinya hanya senyuman kecil saja yang suami dapatkan sebagai jawaban pertanyaannya, meski wajahnya mengambarkan ketidakpuasan suamiku akhirnya diam juga.
“Bi, ..”, akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya.
“Sebenarnya, apa sih tujuan Abi mengajak Umi kemari?, Abi mau ngomong sesuatu ya?”. Kucoba untuk terus menekan Abi agar segera berbicara, sungguh aku sudah tidak sanggup lagi untuk menunggu.
“Mi, apa Umi sudah bener-bener yakin dengan keputusan Umi, mengikhlaskan Abi poligami?”.
Kucoba tersenyum semanis mungkin, berharap suamiku tidak melihat sedikitpun keraguan di mataku.
“Insya Alloh, Bi”. Kataku dengan mantap.
“Kalau Abi ternyata nantinya tidak mampu berbuat adil, gimana”.
“Insya Alloh, Umi akan mengingatkan”.
Kuperhatikan Abi sedang berfikir keras, matanya menatap nanar ke arahku, seolah-olah ingin mencari sedikit keraguan disana dan berharap ia mendapatkan sedikit alasan untuk membantah argumenku.
“Oh ya, mana nih si calonnya?, kok belum datang juga?” tanyaku kemudian untuk sekedar mengalihkan perhatian Abi, jujur aku merasa tidak nyaman kalau Abi sudah menatapku penuh selidik seperti itu.
“Sebenarnya, tujuan Abi mengajak Umi kemari bukan untuk meperkenalkan Umi dengan siapapun, Abi hanya berharap Umi mengingat memory indah kita, dan pada akhirnya Umi berfikir ulang tentang poligami, jujur Mi, sebenarnya yang pantas untuk nikah lagi itu Umi, seandainya saja Islam menghalalkan Poliandri, aku ingin Umi nikah lagi”.
“Masya Alloh Abi, Jangan Bilang begitu, Istighfar Bi”.
“Maaf Mi, Bukan maksudku untuk protes kepada Alloh, aku hanya ingin mengungkapkan isi hatiku, aku sudah capek berdebat dengan Umi, sekarang semuanya terserah Umi saja dan mengenai calon aku serahkan sepenuhnya ke Umi, aku yakin Umi tahu yang terbaik buat aku dan juga buat semuanya”.
"Bi, aku mohon jangan anggap ini hanyalah sebuah perdebatan, bagiku Abi adalah sosok suami idaman, harta abi punya, ilmu juga alhamdulilah, saya rasa sudah sepantasnya kalo Abi berpoligami, selain itu masyarakat saat ini membutuhkan contoh real tentang indahnya poligami, kasihan mereka hanya melihat poligami dari sisi yang menakutkan, aku ikhlas kok kalo Abi tampil sebagai contoh".
"Tapi Mi, kenapa harus keluarga kita?".                       
"Karena keluarga kita yang paham dan mau mencoba".

2 HARI KEMUDIAN
“Bi, aku mau memperkenalkan Abi pada seseorang”, Kataku di telepon waktu itu..
“Siapa?”, jawab suamiku tidak bersemangat.
“Aku sudah menemukan calon buat Abi, kita ketemuan yuk di tempat biasa, nanti mbaknya aku ajak juga”.
“Tapi Mi, aku agak sibuk sekarang”.
“Bi, aku tahu Abi nggak siap, dan sengaja mengulur-ngulur waktu, percayalah Bi semuanya akan berjalan dengan indah, Insya Alloh”.
“Hemmm…, bantu aku ya Mi”.
“Ya dong, selalu, Umi gitu lho he he he….”. jawabku sambil sedikit melucu.

Namanya Arum, umurnya lebih muda 1 tahun dariku, dia sudah 3 tahun menjanda dengan 2 orang anak, suaminya telah lebih dulu dipanggil Yang Diatas, saat ini dia hanya hidup dengan neneknya karena kedua orang tuanya sudah lama meninggal dunia. Anaknya manis, sabar dan sedikit pendiam. Dia adik kelasku ketika di SMU dulu, Aku sudah mengenal Arum luar dalam, bahkan akulah yang menjodohkan dia dengan almarhum suaminya yang merupakan sahabat dekatku.

Suamiku tidak mengiyakan, meskipun dia juga tidak secara terang-terangan menolaknya, tapi aku yakin Beliau memikirkannya, terbukti ketika malam harinya kutanya tentang calon saudariku “Facenya mirip kamu ya Mi”, komentarnya malu-malu.

Perkenalan berjalan lancar dan kamipun menyegerakan pernikahan ini, namun 2 jam setelah akad nikah, suamiku jatuh pingsan dan dokter mendiagnosa Beliau terkena flu burung dan harus di rawat di rumah sakit di Ibu kota, saat kutahu Abi terkena penyakit yang memang saat  ini sedang mewabah di daerah kami, aku merasa sangat bersalah, bagaimana mungkin tanda-tanda sakitnya Abi tidak kuketahui sama saekali, apa aku tidak lagi memiliki sedikitpun rasa perhatian ke Abi dan terlalu ngoyo dengan pernikahan ini ataukah memang si Abi yang sengaja menutupi semuanya, hampir 3 minggu Abi menjalani proses pengobatan dan selama itu pula anak-anak tiriku berada di bawah pengawasanku, karena tugas menjaga Abi aku serahkan ke maduku, selain karena banyaknya urusan pekerjaan yang tidak bisa aku tinggalkan, juga itung-itung memberi kesempatan pada pasangan pengantin baru untuk berbulan madu.

Mungkin ini semua sudah takdir Sang Maha Pengatur, belum sempet Abi menikmati indahnya bulan madu keduanya secara wajar, beliau sudah menghembuskan nafas terakhirnya meninggalkan aku dengan sebuah hadiah indah “maduku” dan anak-anaknya. Aku sangat syok dengan semua ini bertahun-tahun aku mengusahakan pernikahan kedua suamiku, tapi rupanya Alloh berkehendak lain, bukan ujian kecemburuan yang aku dapatkan tapi ujian di tinggal suamiku yang justu kurasakan.

7 bulan aku menikmati hidup seatap dengan maduku dan anak-anaknya, tanpa suami ataupun Ayah bagi anak-anak kami,  Semua berjalan baik tidak pernah sekalipun kami menghadapi masalah yang berarti, bagiku maduku adalah adik terhebatku, anak-anaknya juga sangat manis dan mudah bergaul, ah….seandainya saja.

Tapi sungguh kehendak Tuhan memang penuh rahasia, lagi-lagi ujian itu datang, aku dilamar oleh Saudara jauh dari maduku untuk menjadi istri keduanya, beliau adalah seorang Murobbi yang memiliki usaha di bidang percetakan dan saat ini sedang mendapatkan ujian jabatan menjadi anggota dewan meski masa kerjanya tinggal 1 tahun lagi.

Ketika Mbak Fatih yang merupakan istri pertamanya melamarku untuk menjadi madunya, betapa kulihat bayangan diriku beberapa tahun yang lalu pada dirinya, meski telah kucoba mengajukan berbagai pendapat untuk sekedar menghindar dari tawarannya, namun semakin aku menolak semakin kuat pula permintaan yang dia tawarkan.
“Sungguh mbak, menjadi saudarimu adalah suatu keindahan, tapi aku belum siap jika harus mengambil jatah cinta atas diri suamimu”.
“Apa yang terjadi padamu wahai saudariku, mana pribadi anggunmu yang dulu pernah menjadi penghias dirimu, menjadi istri kedua suamiku tidaklah berarti kamu merampas cintanya dariku, seandainya saja kamu bisa melihat betapa luas dan melimpahnya kasih sayang yang Beliau miliki, niscaya kamu akan merasa malu telah berkata  demikian”.
“Tapi mbak, bertahun-tahun aku mengusahakan pernikahan suamiku, kenapa sekarang kondisinya berbalik tak tertebak sedemikian mengejutkan, aku tak tahu bagaimana meski bersikap, beri aku waktu mbak”.
“Tentu Saudariku, pikirkan masak-masak, istikharohlah, tapi kalau misalkan pernikahan kedua suamiku adalah suatu keniscayaan, aku sangat yakin kamu mampu membantu suamiku untuk berbuat adil, seperti yang telah kamu usahakan terhadap almarhum suamimu dulu”.

Kini aku tidak lagi sibuk merayu suamiku untuk berpoligami, tapi kali ini aku sibuk menata hati dan diri agar bisa menjadi madu yang tidak sekedar mengambil jatah cinta orang lain, tapi turut serta secara bersama-sama menyuburkannya, karena bagaimanapun cinta dihati adalah hak sang maha berhak, kita sebagai manusia hanya mampu menjalankan segala skenario takdir atasnya, tanpa mampu mengendalikan arahnya.

Pernikahan keduakupun terlaksana dengan penuh khidmat dan haru, sepanjang prosesi air mataku tumpah tak terbendung karena masih tak percaya atas semua rahasia takdir hidupku, bahkan ketika suamiku memasuki kamar, aku masih tergugu tak percaya bahwa aku telah menjadi istri sahnya, dan sepertinya Beliaupun menyadari akan kegalauan hatiku. Dengan penuh lembut Beliau menyapaku.
“Assalamu’alaikum Mi?”, Subhanalloh, panggilan itu kini kudengar lagi dari mulut suamiku, laki-laki yang tak sama, yang kini telah menjadi Imam dalam seumur hidupku.
“Kita sholat Isya’ berjama’ah yuk?”, ajaknya kemudian ketika salamnya hanya mampu kujawab dalam hati.

Bergegas ku ambil wudlu, dan dengan sigap kugelar 2 sajadah untuk kami berdua, kali ini kurasakan sholatku sangat khusyuk luar biasa, dan untuk kesekian kalinya air mataku merembes dari sudut-sudut mataku, ketika kusimak do’a pajangnya sebagai permohonan do’a restu kepada sang pemilik segala, secara perlahan mulai kurasakan ketenangan di hati, galau itu kini meleleh mendekati sirna, semoga pernikahan ini menjadi sebuah keindahan yang penuh berkah, sebelum akhirnya kucium tangan suamiku sebagai tanda kepasrahan atas diri.

By Anonim

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karya Tulis Ilmiah (MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA...)

Makalah Tentang Pergaulan Bebas

Teks Pidato Bahasa Inggris (Say No To Drugs)