Cerpen (Doa yang Mengancam)
Ya
Tuhan,bertahun-tahun aku berdoa pada-Mu, memohon agar Kau lepaskan aku dari
kemiskinan yang sekian lama menjerat kehidupanku, tapi nyatanya sampai kini aku
tetap miskin dan bahkan bertambah miskin
, hingga aku menganggap bahwa Engkau tak pernah mendengar doaku, apalagi
mengabulkannya. Karena saat ini aku sudah tak punya apa-apa lagi selain badan dan sepasang pakaian yang kukenakan, aku ingin memohon pada-Mu untuk
yang terakhir kali. Kalau sampai
Matahari terbit esok hari Engkau tak
juga mengabulkan doaku, aku mohon ampun pada-Mu untuk yang terakhir pula, sebab
setelah itu aku akan meninggalkan-Mu."
Itulah doa terakhir Monsera, seorang
penduduk miskin yang tinggal di pinggiran Kota Ampari, ibu kota negeri
Kalyana. Setelah itu ia menutup pintu
rumah tempat tinggalnya, menguncinya dan menyerahkan kunci pada si empunya
rumah yang telah berbuIan-bulan menagih tunggakan uang sewa padanya.
"Suatu saat saya akan kembali untuk membayar utangku,”
Si empunya rumah cuma tersenyum sinis dan membiarkan Monsera pergi.
Monsera lalu
berpamitan pada para tetangga, pemilik warung makan, pemilik toko kelontong,
penjual minyak tanah, ialah semua yang berpiutang padanya dengan ucapan sama,
"Suatu saat saya akan kembali untuk membayar utangku." Dan semua juga
membiarkannya pergi tanpa berharap Monsera akan menepati janjinya.
Lelaki berbadan kurus itu lalu
meninggalkan ibu kota, berjalan kaki memasuki wilayah berhutan, mencari
kelinci, umbi-umbian, dan buah-buahan, untuk bersantap malam, lalu tidur di dahan sebuah pohon besar, menanti datangnya
pagi.
Monsera terbangun oleh tetesan embun yang membasahi mukanya, dan setelah
itu tak bisa tidur lagi sampai ufuk timur memerah. Ia berdebar-debar menunggu terbitnya matahari
berharap-harap cemas membayangkan apa yang akan terjadi nanti.
"Apakah Tuhan mendengar
doaku? Apakah Tuhan terusik oleh
ancamanku?”
Sampai Matahari terbit dan Monsera meneruskan
perjalanannya yang tanpa tujuan ini, tak ada kejadian istimewa terjadi. Monsera
mulai kesal dan putus asa, tapi terus berjalan meninggalkan hutan dan
memasuki padang rumput savana.
Seperti ingin bunuh diri, Monsera menantang teriknya matahari tanpa
berbekal setetes pun air dan menantang dinginnya malam tanpa berbekal selembar
pun selimut. Pada hari ketujuh, Monsera
tergeletak tanpa daya di atas permukaan rumput.
Saat itu hujan turun deras. Kilat
berkerjap-kerjap menerangi malam yang gelap.
Guntur menggelegar. Seleret petir
melesat menukik tajam, menyambar tubuh Monsera.Paginya, seorang saudagar kuda
benama Sinaro menemukan tubuh Monsera yang hangus dan mengiranya sudah jadi
mayat. Sinaro menggali liang kubur mendoakan
Monsera dan menguburnya. Tapi begitu gumpalan tanah mengenai muka Monsera,
mulutnya sedikit bergerak. Ternyata
Monsera cuma mati suri. Sinaro kaget sekali dan membawa Monsera
pulang ke rumahnya di negeri Salaban.
Setelah sebulan lebih dirawat keluarga
Sinaro, luka bakar yang diderita Monsera berangsur sembuh. Kesadarannya
berangsur pulih. Monsera mulai bisa bicara sepatah dua patah kata, tapi masih
menderita amnesia. Masuk bulan ketiga
barulah ingatannya kembali normal dan bisa berbincang secara wajar dengan
orang-orang di sekitarnya.
Suatu hari Monsera tertarik pada foto lama keluarga ayah Sinaro yang
ditaruh di atas almari pakaian. Lama Monsera mengamati foto itu, lalu menunjuk seorang bocah yang
ada di situ dan menanyakannya pada Sinaro.
"Ini saudaramu?
Sinaro agak kaget, lalu bercerita dengan perasaan sedih. "Ya, namanya Sridar. Ia hilang waktu
ikut perang saudara sepuluh tahun yang lalu. Sampai sekarang tak pernah pernah
ada kepastian dia masih hidup atau sudah meninggal.
"Dia masih hidup,” kata Monsera
penuh kepastian.
"Belum lama saya bertemu dia
di Rodamar.”
Sinaro terperanjat. “ Kamu yakin?”
“Saya yakin.”
“Tapi foto itu dua puluh lima tahun
yang lalu, Monsera. Bagaimana kamu yakin yang kamu temui di Rodamar itu adalah
Sridar adikku?”
“Sebaiknya kita sama-sama ke
Rodamar. Sridar tinggal di salah-satu perumahan rakyat di pinggiran kota.”
Antara percaya dan tidak, Sinaro
berangkat ke Rodamar bersama sanak-saudara yang lain, mengikuti petunjuk
Monsera. Tiga hari dua malam mereka berkuda menyeberangi padang pasir dan
berhasil mencapai Rodamar dengan selamat. Dengan mudah Monsera menunjukkan
jalan-jalan dalam kota yang harus dilalui, sampai akhirnya menemukan perumahan
rakyat yang dimaksud. Dan berhasil menemukan Sridar!
Tak terkira betapa gembira Sinaro dan sanak-saudara lainnya, bisa
berjumpa lagi dengan Sridar yang sudah sepuluh tahun mereka anggap hilang
ini. Dan tak terkira pula rasa terima
kasih mereka pada Monsera yang telah membantu menemukan Sridar.
Belakangan Monsera merasa takut dan heran pada dirinya sendiri, setelah
sadar bahwa sebelum ia sama sekali belum pernah pergi ke Rodamar. Jadi bagaimana ia bisa tahu seorang bernama
Sridar yang belum pernah dikenalnya tinggal di sebuah kota yang belum pernah
didatanginya pula?
Sekembali ke rumah Sinaro, Monsera
meminjam foto-foto yang lain, mengamati wajah-wajah dalam foto itu. Dalam waktu singkat ia temyata bisa melihat
perjalanan kehidupan orang yang diamatinya bagaikan sebuah film panjang. Melihat Sinaro waktu masih berpacaran. Melihat Sinaro melamar calon istrinya. Melihat istrinya melahirkan anak
pertama. Dan melihat saat ini istrinya
sedang berbelanja di pasar.
Tak ayal, kemampuan lebih yang
dimiliki Monsera cepat diketahui orang-orang.
Mereka berbondong-bondong mendatangi Monsera, menanyakan anak atau ayah
atau suami atau sanak saudara mereka yang hilang pada waktu perang
saudara. Banyak yang sedih setelah
Monsera mengatakan yang mereka cari sudah meninggal. Namun banyak pla yang bergembira seperti
Sinaro, berhasil bertemu kembali dengan yang selama ini menghilang entah ke
mana. Hadiah berupa uang, emas, maupun
barang-barang berharga lainnya, sebagai tanda-terima kasih, mengalir deras ke
pundi-pundi Monsera. Sampai akhirnya
pemerintah negeri Salaban mendengar mendengar pula kehebatan Monsera, lalu
mengangkat Monsera sebagai pejabat khusus di kepolisian dengan gaji yang sangat
tinggi, dan memberinya tugas melacak para penjahat yang melarikan diri.
Monsera pun menjadi orang yang kaya raya.
Dan di tengah-tengah kekayaannya yang melimpah itu, ia merasa dirinya
telah berhasil mengancam Tuhan lewat doanya.
Setelah
cukup lama berbakti bagi rakyat dan pemerintahan Salaban, Monsera pulang ke
negerinya.yang pertama dilakukannya ialah menemui para mantan tetangga, dan
membayar semua piutang mereka. Setelah
itu Monsera meninggalkan Kota Ampari, pergi ke sebuah dusun termiskin di negeri
Kalyana, menemui ibunya yang selama ini ditinggalkannya begitu saja.
Si
ibu yang tua dan renta nyaris tak mengenali Monsera yang gemuk dan bersih.
"Tuhan, akhimya mengabulkan doa
saya, Ibu! Bahkan lebih dan sekadar
terbebas dan kemiskinan, saya sekarang jadi kaya raya!
Monsera lalu membawa ibunya pindah
ke kota untuk tinggal bersamanya di sebuah kastil termegah dan termahal di Ampari
yang sudah dibelinya. Kekayaan ibunya
yang dibawa dari dusun cuma sebuah tas kecil berisi selembar kain dan foto-foto
lama.
Monsera membakar kain tua itu dan
meminta para pembantunya membelikan lusinan kain sutera sebagai pengganti. Monsera membeli pula bingkai-bingkai emas
untuk memasang foto-foto keluarga yang dibawa ibunya.
Monsera tersenyum sendiri melihat sebuah foto ibunya waktu masih muda.
“Cantik sekali, gumam Monsera. Lalu, di luar kehendaknya, kilasan-kilasan gambaran masa lalu mulai berkelebat secara bening dan meyakinkan.
Seorang wanita bernama Lastina
berdandan di muka cermin,... Malam hari dia berjalan di kaki lima mengenakan
pakaian seronok, melambai-lambaikan tangan pada setiap kereta kuda yang lewat,
sampai salah-satu berhenti dan membawanya pergi. Sekilas nampak Lastina digauli seorang pria.... Lalu
digauli pria lain di tempat lain pula.... Lastina hamil, gagal menggugurkan kandungan, merayu seorang preman jalanan untuk
minta dinikahi.... Lastina menikah dengan preman itu.... Si preman kaget setelah tahu Lastina sudah hamil.... Si
preman meninggalkan Lastina begitu saja .... Lastina melahirkan anaknya ....
Dan diberi nama Monsera.
“Ini
pasti salah! Tak mungkin ibuku seorang pelacur!
Monsera berteriak dalam hati sambil
membuang foto-foto di tangannya. Perasaannya terguncang hebat, merasa begitu
takut kalau pandangannya benar belaka.“Katakanlah padaku, ya, Tuhan, bahwa
pandanganku kali ini keliru.”
Namun jawaban dari Tuhan dalam bentuk apa pun tak pernah diterimanya. Dan tetap saja setiap ia melihat
foto ibunya, gambaran masa lalu yang kelam itu kembali berkerjap-kerjap. Bahkan kian lama kian
benderang sekaligus menjijikkan.
Sampal
akhimya Monsera tak kuat bertahan dan memohon lagi kepada Tuhan. "Aku sungguh bersyukur Engkau telah
memberiku rezeki yang melimpah, ya, Tuhan, tapi sekarang tolong bebaskan aku
dari keahlianku melihat masa lalu, dan kembalikan aku sebagai manusia biasa.”
Setelah
sehari, dua hari, seminggu, sebulan Monsera terus berdoa dan berdoa, kemampuan
supranaturalnya tak kunjung menghilang.
Ia mulai tak sabar dan terucaplah ancaman seperti yang dulu pernah
dilakukannya. "Kalau Kau tak juga
mengabulkanya, Tuhan, aku akan segera meninggalkan-Mu."
Kali ini ia merasa ancamannya pada Tuhan sama sekali tak mempan. Sedikitpun tidak ada perubahan terjadi dalam
dirinya. Lama-lama Monsera berpikir,
jangan-jangan dengan ancamannya yang pertama dulu Tuhan marah dan lebih
dulu meninggalkannya. Kalau memang
begitu, segala mukjizat yang diterimanya selama ini bisa jadi bukan anugerah
dari Tuhan, melainkan pemberian dari setan.
Maka
Monsera pun berkata, "Hai, setan! jangan kau siksa aku dengan pemberianmu
yang justru membuatku menderita.
Kembalikan aku seperti manusia biasa!
Kalau kau tidak mau melakukannya, aku akan kembali mengabdi pada Tuhan.
Seketika
hujan turun deras. Kilat
berkerjap-kerjap menerangi malam yang gelap.
Guntur menggelegar. Seleret petir melesat menukik tajam, menyambar tubuh
Monsera.
Paginya, orang-orang menemukan tubuh Monsera yang hangus
dan mati suri. Mereka berebut membawa
Monsera ke rumah sakit terbaik. Pemerintah pusat menginstruksikan Departernen
Kesehatan agar mengerahkan semua dokter ahli di seluruh negeri untuk menyelamatkan aset negara berupa
manusia bernama Monsera ini.
Tak lebih dari sebulan Monsera tersadar dari mati surinya. Yang pertama dia
lihat adalah seorang perawat jaga bernama Datim yang berwajah sedih. Monsera
mengajaknya berkenalan dan bertanya kenapa Datim nampak sangat bersedih.
"Suami saya memohon izin pada saya untuk menikah
lagi karena setelah delapan tahun menikah saya tak
bisa memberinya anak," jawab Datim.
Monsera
terdiam menatap Datim. tiba-tiba, di luar kehendaknya, kilasan-kilasan adegan
berkelebatan seperti biasa dia
alami. Kali ini ia melihat Datim muntah-muntah di kamar mandi, lalu bicara
dengan dokter yang mengucap selamat atas kehamilannya.
"Kenapa Tuan Monsera menatap saya seperti itu?"
“Aku
lihat engkau hamil, Datim.”
"Ah.
Tuan pandai menyenang-nyenangkan perasaan wanita.
Kalau dalam benak Tuan terbayang di masa lalu saya hamil, tentulah
sekarang saya sudah melahirkan atau malah anak saya sudah besar
Sekonyong-konyong Monsera menjadi cemas. "Jangan-jangan..."
“Jangan-jangan
apa, Tuan Monsera?"
“Jangan-jangan
aku melihat sesuatu yang belum terjadi.”
Ternyata benar! Seminggu sesudah itu
Datim muntah-muntah, pergi ke dokter
dinyatakan hamil. Datim sangat gembira dan menceritakannya pada semua
orang. Dalam tempo singkat seluruh warga
negeri Kalyana tahu, bahwa sekarang Monsera bukan cuma bisa melihat kejadian
yang sudah terjadi di masa lalu, tetapi juga kejadian yang belum terjadi di
masa yang akan datang, hanya dengan menatap wajah orang yang akan mengalaminya.
Maka berbondong-bondonglah orang mendatangi Monsera, menanyakan masa-depan
pekerjaan mereka, jabatan, jodoh, vonis hakim, nomor undian, dan segala sesuatu
yang diharapkan atau tidak diharapkan oleh yang bersangkutan. Dan belakangan terbukti, bahwa yang dilihat
secara maya oleh Monsera semuanya benar-benar terjadi!
Monsera kewalahan menampung imbalan
berupa uang berjuta-juta, emas berkilo-kilo maupun berlian berkarat-karat,
sampai ia sendiri tak sempat menghitung, apalagi menikmatinya. Sampai suatu saat ia merasa
sangat lelah dan menyempatkan diri beristirahat sesaat, membasuh muka di
wastafel, dan menatap wajahnya di cermin.
Monsera pun tertegun. Tak lama
kemudian muncul kilasan-kilasan kejadian sebagaimana selalu teriadi setiap ia
menatap wajah seseorang...
Kali ini yang nampak ialah seorang
lelaki kaya raya berwajah letih yang merasa bosan dengan kekayaannya, menyamar
sebagai rakyat bersahaja dan lari dari rumahnya sendiri di tengah malam
sunyi. Sekelompok penjahat mencegatnya,
menodongkan senjata mereka ke tubuh laki-laki ini dan menghardiknya keras.
"Serahkan semua uangmu!
"Saya tidak bawa uang sesen pun. Semua saya tinggal di rumah. Ambillah sesuka kalian
kalau kalian mau.
"Jangan main-main! Serahkan uangmu sekarang juga!"
Laki-laki ini mengulangi jawaban yang sama, hingga para
penodongnya marah dan menghunjamkan senjata mereka berkali-kali ke tubuhnya.
"Tidaaaak!
" Monsera berteriak.
"Aku tak mau mati dengan cara begituuu!!! "
Tapi kali ini Monsera tak tahu lagi
kepada siapa dia harus berdoa.
Jakarta,
29 Maret 2001
Komentar
Posting Komentar